Labels

My Fan Page

Translate

Jurnalistika Febra Ariella On Sabtu, 04 Februari 2012

Dimas hanya terdiam saat aku menatapnya dan mengeluarkan segala amarah yang telah lama membelenggu. Tangannya menggenggam erat bingkai berwarna hitam yang menyimpan kenangan indah untuknya. Dia sama sekali tak menganggapku sebagai aku.

Kurebut bingkai itu dari tangannya dengan paksa, lalu membantingnya hingga kaca yang menyelimutinya hancur berkeping. Dimas geram dan menamparku, “Keluar kau!” bentaknya yang tak pernah seperti ini sebelumnya.

Aku pun berlari meninggalkannya, kurasa memang semua ini memang harus diakhiri, di Januari.

Dua tahun yang lalu, masih melekat jelas di dalam pikiranku. Untuk pertama kalinya Dimas menggenggam tanganku dan menyatakan cintanya. Aku pun yang telah memendam rasa itu sejak lama pun menerimanya dengan gembira. Sungguh itu adalah hari terindah di dalam hidupku, setidaknya sampai hari yang menyakitkan ini datang.

Hari-hari kami berjalan sempurna semenjak 9 Desember 2009. Aku sangat menyayanginya sebagaimana dia menyayangiku, kurasa. Dia memintaku untuk mengenakan jilbab, ya dia menyukai wanita yang menutup auratnya. Awalnya aku memang ragu, namun aku tahu itu adalah kewajibanku sebagai seorang muslimah, akhirnya aku pun menuruti maunya sekaligus untuk menunaikan kewajibanku.


Ayah dan Ibu menyukai Dimas, menurut mereka Dimas membawaku ke perubahan yang lebih baik dari sebelumnya. Dimas membuatku lebih bersikap dewasa dan bijaksana. Dimas juga sering membantu Ayah dalam hal otomotif, ya itu adalah keahliannya. Dia juga tidak sungkan jika disuruh menemaniku dan Ibu ke pasar setiap Minggu pagi. Dia sudah menjadi bagian dari keluargaku.

Hari-hari terus seperti itu dan menyenangkan jika bersamanya. Dia memberiku kado saat hari jadi kami yang pertama. Sebuah gelang bertuliskan dua abjad di sana “D” dan “K” yang berarti Dimas dan Keyla.

Lalu kebahagian itu terus berlanjut, semakin hari semakin tak ingin kumelepasnya dari kehidupanku. Ayah dan Ibu pun sering mengundangnya jika ada acara keluarga dan tidak jarang juga dia bermalam di rumahku. Sungguh, mungkin Dimaslah lelaki yang akan menemaniku selamanya.

Pada hari jadi kami yang kedua 9 Desember 2011, dia memberiku cincin yang bertuliskan 2 abjad yang sama seperti yang ada pada gelangku yaitu “D” dan “K”. Menurutku ini bukanlah hal yang biasa, memberi cincin berarti mengikat kesetiaannya padaku. Ini mungkin berarti hubungan kami akan berlanjut ke tahap yang lebih lanjut, ya, semoga.

9 Desember memang masih terasa dekat, ya, 35 hari yang lalu. Namun hari ini aku harus menyesali segalanya yang terjadi, aku sungguh merasa telah buta selama ini. Aku merasa tidak peka, tuli dan tidak mengerti apa yang terjadi.

Januari, entah mengapa bulan ini memang Dimas berubah. Tak seperti malam tahun baru sebelumnya, malam tahun baru kali ini tak dirayakannya bersamaku. Dia bilang, Ibunya meminta untuk merayakan tahun baru di Lampung. Ya, kuterima keputusannya, walaupun sebenarnya cukup menyesakkan untukku.

Dan aku terus berusaha untuk mempercayainya sampai saat itu tiba, 5 Januari 2012. Resti sahabatku menelpon untuk bertemu, dia ingin memberitahukanku satu hal yang penting. Dia mengajakku bertemu di salah satu restoran di daerah Jakarta Selatan. Mengingat Dimas masih di Lampung, aku pun menyetujuinya, sekaligus untuk menghibur diri.

“Key, kenalin ini teman gua Ivan.” Resti melirik seorang lelaki yang berperawakan kecil di sebelahnya, umurnya kira-kira sama dengan Dimas.

“Hai, Keyla,” kataku sambil menjabat tangannya dengan senyum ramah.

“Ivan. Wah, lo bener-bener mirip.”

Aku pun tercengang mendengar kata-katanya. Mirip, apa maksudnya? Selama ini aku belum pernah melihat orang yang mirip denganku.

“Sorry, mirip siapa ya?”

“Udah, jangan langsung kesitu. Lebih baik lo dengerin ceritanya Ivan dulu ya. Jadi Ivan ini temennya Dimas waktu SMA,” kata Resti.

“Ya, gua temen Dimas dulu. Sohibnya malah, gua tau dia mulai dari segala kebaikan sampe kebusukannya. Bahkan sampe detik ini gua tetep tau segala kebusukannya, walaupun gua emang jarang ketemuan sama dia.”

“Key, seberapa sayang lo sama Dimas?” tanyanya.

“Gua sayang banget sama Dimas, Van. Emang kenapa?”

“Sebenernya gua nggak enak cerita gini sama lo, tapi gua rasa sebelum lo merasa cinta terlalu jauh dan akhirnya lo akan sakit dan hancur , lebih baik gua certain yang sebenernya ke elo sekarang .”

Denyut jantungku menjadi cepat tiba-tiba. Seperti ada perasaan was-was namun ada rasa tidak percaya juga di dalamnya. Aku pun mendekap bibir dengan tangan kananku seolah tak siap menerima kenyataan yang akan kudengar.

“Gila, gelang dan cincin itu!” seru Ivan refleks saat melihat gelang dan cincin pemberian Dimas di tanganku.

“Kenapa? Ada yang salah, Van? Ini pemberian Dimas.”

“Ya, gua tau kok. Pasti dia ngasih itu saat anniversary kalian, kan? Gelang di tahun pertama dan cincin di tahun kedua.”

“Iya, Dimas sering cerita ya sama lo.”

“Enggak kok, tapi gua udah pernah melihat kisah cintanya Dimas waktu SMA dulu dan itu sama persis kayak gini.”

Entah mengapa perasaanku rasanya seperti terbakar ketika mendengarnya. Walaupun memang sepertinya tidak mungkin Dimas akan kembali mengingat mantan kekasihnya semasa SMA dulu, mengingat bagaimana perlakuan dan sikapnya padaku saat ini.

“Gua rasa itu adalah gelang dan cincin yang sama.”

“Apa maksud lo, Van? Ya nggak mungkinlah,” kataku dengan nada sedikit tinggi.

“Eh bisa jadi, kan mantannya Dimas namanya Karin.” Aku hanya mampu terdiam. Entah mengapa aku merasa ingin mengusir Ivan, namun hatiku tetap menuntut untuk satu jawaban yang pasti. Kuturunkan tanganku ke kolong meja agar Ivan tidak dapat melihat lagi cincin dan gelang itu.

“Sorry Key, kalo gua terkesan nggak mempercayai rasa yang diberikan Dimas sama lo, tapi gua serius. Gua berbicara berdasarkan fakta.”

“Fakta apa, Van? Lo jangan ngaco ya, nggak mungkin tau Dimas ngelakuin itu sama gua. Gua tau dia sangat menyayangi gua, Van.”

“Oke, Key, sorry. Mungkin memang sulit untuk menerima kenyataan.”

“Apa sih, Van. Udahlah gua mau balik,” teriakku sambil bangkit dari tempat duduk.

“Eh, tunggu, Key. Tujuan dari pertemuan kita belum tercapai,” kata Nina sambil menarik tanganku.

“Tapi, Nin… Okelah, tapi lain kali kalo mau ketemu nggak usah ngajak orang resek kayak gini, ya!”

“Oke,oke, tapi lo harus tau tujuan gua bawa Ivan ke sini apa. Key, gua denger belakangan ini hubungan lo dan Dimas agak merenggang, ya?”

“Enggak kok, sejauh ni gua masih contact sama dia.”

“Oke, tapi kalian udah lama nggak ketemu, kan?”

“Ya itu kan karena dia lagi ngerayain tahun baru sama keluarganya.”

“Key, tolong beri gua kesempatan, jangan membantah gua sampe tuntas. Terserah setelah ini lo mau percaya atau enggak.” Resti berhenti sejenak, kemudian melanjutkan kata-katanya.

“Lo bilang sama gua Dimas lagi di  Lampung, tapi, Key, believe it or not malem tahun baru gua ngeliat dia di daerah Bandung, waktu gua lagi jaln bareng temen-temen gua. Sempet shock sih, akhirnya gua samperin dia, eh dia malah kabur. Tapi gua yakin itu…”

“Mungkin lo salah liat, Res.”

“Tunggu, Key. Please, lo jangan motong pembicaraan gua.”

“Oke lanjutin,” kataku mulai bete.

“Besokanya gua jalan lagi sama temen-temen gua dan gua ketemu Ivan lagi makan siang sama Dimas.”

“Iya, Key. Dia bohongin lo kalo dia bilang masih di Lampung,” sambar Ivan.

“Tapi, Van…” kataku mencoba membantah.

“Key,” bentak Resti memotongku.

Ivan kemudian melanjutkan kata-katanya, “ Bandung itu emang tempat yang berarti banget buat dua. Dulu, kita SMA di Bandung dan di sanalah dia bertemu Karin. Maaf sebelumnya, sumpah gua nggak ada maksud untuk manas-manasin lo. Tapi emang kisah cinta mereka so sweet banget. Mereka pacaran sejak kelas 2 SMP dan berpisah kelas 3 SMA itu pun karena Karin meninggal, dia kena penyakit kanker. Jujur, gua kasihan banget sama Dimas, di hari-hari terakhir Karin, dia selalu setia nemenin Karin, sampai akhirnya Karin meninggal. Dia pajang semua foto-foto dan barang-barang yang sering di pake Karin. Setahu gua, sampai detik ini dia belum bisa ngelupain Karin. Dia bilang Karin adalah sosok yang selalu ada dalam hatinya. Jujur, gua nggak percaya waktu Resti bilang Dimas udah punya cewek, itu artinya lo…”

“Stop ya Van, sorry gua udah nggak mau denger lagi. Res, gua balik duluan, sorry.”

Aku pun meninggalkan mereka dan segera pulang. Entah mengapa aku masih mengingat kata-kata yang dikeluarkan Ivan. TIba-tiba ada sms dari Resti, dengan segan aku pun membukanya.

Key, maaf soal yang tadi. Sebenernya gua dan Ivan cuma pingin ngasih tau lo kalo sampai detik ini Dimas masih menganggap Karin itu ada dan gua takutnya dia menganggap lu sebagai sosok Karin. Jadi cewek yang dia cintai sebenernya ya Karin, bukan elo, Key. Terserah gimana tanggapan lo, seenggaknya gua dan Ivan udah memberitahukan hal ini ke elo. Jadi mungkin, ketika lo tau kenyataan yang sebenernya nanti nggak akan sesakit ini. Gua berharap lo bisa ngebuktiin kebenaran ini, Key. Sekarang Dimas tinggal di rumah neneknya yang di Bandung, dia ke sana untuk mengenang Karin. Silakan lo buktikan kebenaran omongan gua dan Ivan. Sekali lagi maafin kita : )

Jujur, aku tidak sanggup membayangkan jika memang hal itu yang terjadi. Tapi aku mempercayai Dimas, dia tidak mungkin melakukan hal itu. Aku tidak mempercayai Resti dan Ivan yang mungkin memang ingin merusak hubunganku dengannya.

Kuambil hand phone dan segera menghubungi Resti untuk meminta alamat Dimas. Kukendarai mobil secepat yang kubisa, sungguh aku ingin membuktikan kebenaran ini. Aku mempercayainya, sungguh, aku berharap dia tidak mengecewakanku.

Neneknya menyambutku dengan hangat dan mempersilakanku untuk masuk ke kamar Dimas, dia sedang ada di kamarnya.

Menyesakkan…

Mengecewakan…

Menyakitkan…

Seluruh dinding kamarnya ditempeli foto seorang wanita berjilbab yang jika dilihat seklias memang mirip denganku. Ya, ternyata Ivan dan Resti memang benar, Dimas masih mencintai Karin.

Kulirik sisi lain, di mana Dimas sedang menonton video. Videonya bersama Karin, di sana terekam bagaimana dia memberikan cincin dan gelang yang sama persis seperti yang melekat di tanganku. Kata-kata yang sama, cara yang sama, pemberian yang sama, semuanya…

Dia menjadikanku seperti kekasihnya…

“Dimas,” kataku lirih.

Dia menolehkan wajahnya, barulah kusadar dia sedang menggenggam bingkai yang melukiskan dirinya dengan Karin.

“Karin,” sapanya penuh cinta.

“Aku Keyla, bukan Karin.” Air maat mulai menetes membasahi pipiku.

“Karin… Kau kembali,” katanya sambil menghampiriku dan menggenggam tanganku seperti orang yang sedang terhipnotis.

“Aku Keyla,” bentakku sambil menyentakan tangan.

“Dimas, siapa Karin?” tanyaku berteriak.

“Kamu adalah Karin.”

“Nggak, aku bukan Karin.” Aku menariknya menuju lukisan Karin yang paling besar, di kamarnya.

“Dimas, lihat. Dia Karin, aku Keyla. Kita nggak sama.” Kutunjuk lukisannya saat menyebut namanya.

“Tapi…”

“Oke, jadi selama ini kamu menganggap aku sebagai Karin. Jadi bener apa yang dibilang Ivan dan Resti. Sebegitu indahnyakah Karin untuk dilupakan? Apakah kamu sebenernya nggak pernah suka sama aku? Yang ada di benak kamu cuma Karin, kan? Dia udah meninggal, Dimas. Kamu, aku, kita tau itu. Kenapa sih kamu harus mengingat orang yang udah nggak ada, hah? Jawab, Mas, jangan diam aja.”

Dimas hanya terdiam saat aku menatapnya dan mengeluarkan segala amarah yang telah lama membelenggu. Tangannya menggenggam erat bingkai berwarna hitam yang menyimpan kenangan indah untuknya. Dia sama sekali tak menganggapku sebagai aku.

Kurebut bingkai itu dari tangannya dengan paksa, lalu membantingnya hingga kaca yang menyelimutinya hancur berkeping. Dimas geram dan menamparku, “Keluar kau!” bentaknya yang tak pernah seperti ini sebelumnya.

Ya, sungguh sangat menyakitkan. Tapi mungkin ini adalah cerita cinta yang telah dilukiskan untuk kami. Cerita cinta singkat yang berakhir di Januari. Walaupun Dimas tak pernah menganggapku sebagai aku, tapi aku tak sanggup membencinya, karena aku mencintainya.

Dan cinta itu bukanlah suatu pengorbanan yang menyiksa, melainkan suatu pilihan.

Inilah pilihanku, untuk tetap mencintainya…

Perlahan mencoba untuk melupakannya…

Walaupun di matanya aku tak ada…

Dimas, andai saja kau mengerti…

Aku bukanlah dia…

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments