Dimas hanya terdiam saat aku menatapnya dan mengeluarkan segala amarah yang telah lama membelenggu. Tangannya menggenggam erat bingkai berwarna hitam yang menyimpan kenangan indah untuknya. Dia sama sekali tak menganggapku sebagai aku.
Kurebut bingkai itu dari tangannya dengan paksa, lalu membantingnya hingga kaca yang menyelimutinya hancur berkeping. Dimas geram dan menamparku, “Keluar kau!” bentaknya yang tak pernah seperti ini sebelumnya.
Aku pun berlari meninggalkannya, kurasa memang semua ini memang harus diakhiri, di Januari.
Dua tahun yang lalu, masih melekat jelas di dalam pikiranku. Untuk pertama kalinya Dimas menggenggam tanganku dan menyatakan cintanya. Aku pun yang telah memendam rasa itu sejak lama pun menerimanya dengan gembira. Sungguh itu adalah hari terindah di dalam hidupku, setidaknya sampai hari yang menyakitkan ini datang.
Hari-hari kami berjalan sempurna semenjak 9 Desember 2009. Aku sangat menyayanginya sebagaimana dia menyayangiku, kurasa. Dia memintaku untuk mengenakan jilbab, ya dia menyukai wanita yang menutup auratnya. Awalnya aku memang ragu, namun aku tahu itu adalah kewajibanku sebagai seorang muslimah, akhirnya aku pun menuruti maunya sekaligus untuk menunaikan kewajibanku.