Labels

My Fan Page

Translate

Archive for September 2012

Haruskah Menjadi PNS?

Sabtu, 22 September 2012
Posted by Jurnalistika Febra Ariella

 
Hai guys, gua tertarik banget untuk membahas topik ini semenjak beberapa bulan yang lalu. Okay sebenernya gua terinspirasi dari kehhidupan gua sendiri ketika gua diterima di STIS dan UI sekaligus dan akhirnya gua memilih di UI. Banyak banget orang yang bilang gua salah memilih seharusnya gua memilih STIS, ya tapi live is a choice and I think UI is the best place for me right now.

Sebelum masuk penjelasan-penjelasan mengenai mengapa lebih baik memilih universitas dibandingkan sekolah tinggi kedinasan (menurut versi gua), gua akan menjelaskan sedikit tentang STIS (mungkin aja ada yang belum tau mengenai STIS. Jadi STIS (Sekolah Tinggi Ilmu Statistik) yang dibawah naungan pemerintah akan mencetak lulusan-lulusan setiap tahunnya menjadi PNS. Menguntungkan memang, karena selain sudah mendapat jaminan untuk bekerja, mahasiswa STIS pun tidak perlu membayar uang perkuliahan di STIS bahkan mendapat uang bulanan sebesar Rp 800.000,00. Tak heran STIS menjadi incaran banyak lulusan SMA jurusan IPA.

Setiap tahun, peminat STIS semakin meningkat. Dari ribuan calon mahasiswa yang mendaftar  seleksi STIS, hanya akan dipilih kurang lebih 400 orang se-Indonesia (perlu ditekankan bahwa pemilihan dilakukan untuk se-Indonesia tanpa melihat kuota per kota). Oleh sebab itu banyak yang bergumam bahwa masuk PTN jauh lebih mudah dibandingkan masuk STIS. Apalagi saat tahap 1 penyaringan, soal-soal STIS boleh dibilang sangat sulit, bahkan beberapa orang mengatakan soal matematikanya jauh lebih sulit dibandingkan SNMPTN. Kalo mau tau lebih lanjut, silakan aja lihat di web STIS (stis.ac.id).

Okay gitulah deskripsi singkat tentang STIS, ya bagi kalian yang baru tau tentang STIS pasti berpikiran sama untuk memilihnya dibandingkan PTN bahkan UI sekalipun. Tapi gua nggak, gua punya pemikiran berbeda mengapa lebih memilih PTN dibandingkan sekolah kedinasan. Alasan-alasan yang akan gua beri tau emang klasik dan bisa dibantah dengan mudah, tapi jika dikaji lebih dalam dan nggak cuma dipikirkan secara sesaat kalian akan mengerti  bahwa masuk PTN lebih mulia dibandingkan sekolah tinggi kedinasan J

Sekolah gratis berarti menjadi tanggungan pemerintah. Sekolah yang sudah di subsidi pemerintah selama 12 tahun (sejak SD hingga SMA) saja sudah menjadi beban negara, apalagi sampai ke jenjang yang lebih tinggi yang tentu saja dengan anggaran yang jauh lebih besar. Coba pikirkan dengan membiayai sekolah satu orang pelajar berapa besar pengeluaran yang harus dibayarkan negara (memang jika dibandingkan dengan permasalahan korupsi, semua itu tidak ada apa-apanya) dan  perlu diketahui bahwa dana yang dialokasikan merupakan uang rakyat. Oke, boleh saja kalian menganggap bahwa diterima di perguruan tinggi kedinasan merupakan hadiah bagi kalian yang telah belajar mati-matian selama ini, lagi pula saat menjadi PNS kalian pun mengabdi pada masyarakat. Namun, bukankah lebih mulia jika kita menjadi pengabdi yang tanpa pamrih?  Jangankan untuk perguran tinggi yang menawarkan pendidikan 100% bebas biaya, di UI saja yang uang persemesternya tergolong cukup tinggi ternyata masih mendapatkan subsidi dari pemerintah (menurut penuturan senior).

Tak hanya itu, coba lihat koruptor-koruptor merupakan bagian dari pemerintah (walaupun gua harap mulai generasi kita nggak ada lagi koruptor ya guys). Indikasi bahwa pemerintah merupakan sarang koruptor sepertinya sudah melekat cukup erat. Oleh karena itu gua cuma pingin menghindari itu (memang semuanya kembali ke pribadi masing-masing), karena gratifikasi sekecil apapun merupakan tindak korupsi dan hal itu menjadi keseharian dalam kehidupan pemerintahan Indonesia.

Organisasi sosial, tentu aja kalo udah jadi bagian pemerintah kita dilarang terjun ke dunia politik (yang pada dasarnya untuk masa ini banyak menyudutkan pemerintah) lantas bagaimana caranya kita membela kepentingan rakyat yang kontra dengan pemerintah. Kalo jadi PNS kita jadi bagian dari keperintahan dan tentu aja harus loyal dong (nggak netral). Kebebasan berorganisasi tanpa memandang golongan nggak akan gua dapetin kalo gua meninggalkan UI dan mengambil STIS. Selain itu juga ada tuntutan nilai minimun yang harus dicapai kalo kita kuliah di STIS (nggak ada istilah mengulang, yang ada Drop Out / dikeluarkan).

Ikatan dinas pemerintah yang mewajibkan kita mengabdi selama minimal 4 tahun sepertinya juga menjadi beban tersendiri. Padahal mungkin aja kita bisa buat usaha atau bahkan ngelanjutin kuliah ke luar negeri (ingat kuliah keluar negeri bukan berarti tinggal di luar dan meninggalkan negara ini, melainkan membawa ilmu dan menerapkannya ke negara ini). Jadi PNS itu kayak terkekang dalam sebuah sistem dan gua kurang suka itu.

Mungkin masih banyak hal lainnya, tapi gua belum kepikiran aja. Oh ya seperti yang udah gua bilang tadi alasan-alasan yang gua kasih ini cuma alasan klasik dan bisa ditentang dengan mudah. Semuanya kembali ke diri masing-masing. Mau memikirkan diri sendiri atau orang lain? Live is yours :)

sumber dokumentasi.

STOP EKSPLOITASI DAN DISKRIMINASI

Senin, 17 September 2012
Posted by Jurnalistika Febra Ariella


Maraknya tindak eksploitasi dan diskriminasi anak-anak sepertinya sudah menjadi tradisi bahkan cerminan bangsa ini. Kita dapat melihat bagaimana tindak eksploitasi yang dilakukan orangtua kepada anaknya yaitu dengan mempekerjakannya. Hal ini merupakan cerminan dari kesenjangan ekonomi negara ini. Tentu saja ini terlihat tidak etis mengingat banyak hak-hak anak yang direnggut secara paksa. Tindak diskriminasi sendiri dapat kita lihat dari nasib anak-anak yang berkebutuhan khusus atau cacat secara fisik maupun mental. Keterbatasan memnyebabkannya sulit untuk bersosialisasi dengan anak-anak lainnya. Sehingga hal ini tidak mengelakan bahwa tindak diskriminasi tertuju padanya yang tentu akan mempengaruhi kejiwaan sang anak.

Latar belakang maraknya tindakan-tindakan ini tentulah tidak terlepas dari krisis moril yang dialami oleh penduduk bangsa. Sekali pun masalah ekonomi menjadi salah satu faktor penyebab eksploitasi, namun seharusnya hal ini tidak terjadi jika para pelaku memiliki moral dan etika yang baik. Karena dalam kedua masalah ini jelas terlihat bahwa 4 dasar hak anak telah terenggut, mulai dari hak hidup, hak tumbuh dan berkembang, hak mendapatkan perlindungan dan hak berpartisipasi.

Membahas kedua masalah ini, ada baiknya kita menengok kinerja pemerintah. Apakah peran dan tindak yang dilakukan dalam penanganan masalah ini? Dalam konteks ini, lembaga pemerintahan yang terkait diantaranya adalah Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindingan Anak serta Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPKB). Lembaga ini memiliki salah satu program kerja yaitu membentuk kota layak anak yang rencananya akan diwujudkan melalui kerjasama dengan lembada-lembaga masyarakat serta organisasi bentukannya yang merupakan pemerhati kebutuhan anak, salah satunya adalah Forum Anak Provinsi DKI Jakarta. Selain itu juga ada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang merupakan lembaga independen yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara. Dalam peranannya KPAI melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan dan pemantauan, evaluasi serta pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, memberikan laporan, saran, masukan serta pertimbangan kepada Presiden. 

Peranan lembaga masyarakat pun sangat dibutuhkan untuk mengatasi kedua permasalahan serius ini. Mulai dari konseling kepada anak atau pun orangtua korban eksploitasi dan diskriminasi hingga penyediaan sarana dan prasarana untuk anak-anak berkebutuhan khusus, tanpa membedakannya dari anak-anak normal lainnya. Serta advokasi kepada masyarakat sekitar untuk menjauhi dan memberantas kedua tindakan kejam ini.

Namun rasanya peran pemerintah dan lembaga-lembaga masyarakat belum cukup kuat untuk mengentaskan masalah eksploitasi dan diskriminasi yang semakin bercabang ini. Agar masalah ini tidak semakin meluas, haruslah adanya tindakan preventif atau pencegahan yang harus dilakukan mulai dari keluarga, masyarakat atau pun pemerintah.

Keluarga terutama orangtua sebaiknya memahami betul apa itu hak-hak anak sehingga tidak ada lagi tindakan yang melanggar hak-hak anak seperti tindak eksploitasi. Selain itu orangtua juga seharusnya bisa memberikan dukungan dan semangat bagi anak mereka yang berkebutuhan khusus.Sehingga mereka tidak minder dan bisa bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya dengan baik tanpa menjadikan keterbatasan mereka sebagai penghalang. Tentu saja hal ini dapat mencegah terjadinya tidak diskriminasi.

Selain keluarga, masyarakat juga ikut andil dalam pencegahan diskriminasi dan eksploitasi ini. Masyarakat yang melihat tindak eksploitas mungkin dapat memberikan nasihat dan pengertian kepada orangtua anak tersebut atau anggota keluarga yang bersangkutan. Jika hal ini tidak berhasil, mereka dapat melaporkan pelaku dan korban pada lembaga yang berperan pada pemenuhan kebutuhan hak anak, baik pemerintah atau pun LSM. Untuk tindakan diskriminasi sendiri, seharusnya masyarakat tidaklah ikut melakukannya. Jika hal ini memang terjadi pada lingkungan sekitar kita, sebaiknya kita memberikan pengarahan dan pengertian kepada pelaku bahwa tidak ada keuntungan yang akan diperoleh dari tindakan ini. Justru tindakan ini akan mengacaukan kejiwaan sang anak.

Dalam tindak preventifnya, pemerintah juga telah menyediakan fasilitas konseling bagi anak-anak yang membutuhkan, yaitu melalui TESA (Telepon Sahabat Anak) di nomor 129. Pemerintah juga telah memberikan penegasan dalam UU RI No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Selain itu negara Indonesia juga menerima KHA (Konvensi Hak Anak) yang merupakan suatu perjainjian antar negara mengenai hak-hak anak yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989 dengan Kepres No. 36/1990 tanggal 25 Agustus dan mulai berlaku 5 Oktober. Hal ini tentu saja menjadi titik penindak tegas pelaku tindak diskriminasi dan eksploitasi.

Oleh karena itu, kita sebagai warga Indonesia haruslah memberikan yang terbaik untuk negara ini. Memberikan fasilitas dan pelayanan untuk anak-anak Indonesia, generasi penerus bangsa. Mari berantas tindak eksploitasi dan diskriminasi untuk masa depan bangsa yang lebih baik.

sumber dokumentasi