*Cerita ini hanya fiktif belaka, sebuah pemikiran tentang "Limit".*
Rutinitas setiap pagi, harus ke kampus, ngurusin berbagai
hal terus pulang, dari senin sampe jumat nggak ada berhentinya. Seperti biasa,
pagi ini gua beresin beberapa buku ke dalam tas (meskipun ada lebih dari satu
tapi tetep aja bukunya punya judul yang sama, yaitu “Limit”) totalnya ada 4
buku. Dan seperti biasa lagi gua lupa untuk mempertimbangkan harus taro dimana laptop
sebesar 14 inch yang harus banget gua bawa setiap hari, akhirnya gua keluarin
tiga buku bertuliskan “Limit” di depannya dan memasukan laptop gua ke dalam
tas.
Setelah semua siap, gua pun langsung bergegas berangkat
karena gua tau waktu gua nggak banyak. Yap, hampir setiap hari gua nyaris telat
masuk kelas tapi untungnya gua selalu menjadi orang terakhir yang masuk kelas.
Entah kenapa seolah batas selalu berpihak kepada gua. Nah, pas banget kan nih
sama matkul gua yang lagi ngebahas limit (batas), entah kenapa semua hal yang
ada disemesta seolah membuat gua untuk mencintai limit.
Guys, coba lo bayangin betapa buruknya dunia ini kalo nggak
ada limit. Semua hal akan berlebihan, nggak ada keistimewaan bagi orang-orang
yang berhasil lolos dari limit. Terus kalo nggak ada limit, matematika pasti
nggak akan terasa seindah ini, karena pasti akan banyak nilai-nilai menuju tak
hingga dan discontinue yang nggak bisa dicari penyelesaiannya. See, betapa
indahnya limit menjadikan hal yang nggak ada itu ada :)
Balik lagi ke dalam kehidupan gua. Pagi ini lagi-lagi gua
nyaris ketinggalan kereta, ya sebenernya sih kalo nggak naik kereta ini gua
masih bisa naik kereta selanjutnya, tapi bisa dipastikan gua akan terlambat
masuk kelas. Beberapa detik sebelum pintu kereta ditutup, gua berhasil masuk ke
dalamnya. Well, how beautiful the limit.
Karena waktunya udah terbatas banget, gua pun harus sedikit
berlari dari stasiun kereta sampe ke kelas gua. Entah kenapa mungkin hari ini
gua kurang beruntung, gua harus tabrakan di depan koridor sama seorang cowok
yang kayaknya nggak pernah gua liat sebelumnya, gua yakin dia bukan temen
sefakultas gua. Karena tabrakannya lumayan keras ya gua sempet jatoh dan
buku-buku gua berserakan, buku dia pun juga.
“Sorry ya, gua nggak sengaja,” kata cowok itu. Gua udah
nggak peduli sama sekali, yang gua pedulikan saat ini adalah mengambil 4 buah
buku yang tercecer di lantai dengan tulisan “Limit” dan langsung masuk ke dalam
kelas, karena kalo nggak pasti gua akan terlambat dan nggak boleh masuk kelas. Untungnya,
batas masih berpihak pada gua. Gua berhasil berdiri di depan pintu kelas saat
dosen mau nutup pintu, ya jadi gua masih boleh masuk deh. Nggak cuma di awal
hari, entah kenapa sepanjang hari di sepanjang kehidupan gua hingga detik ini,
semuanya selalu berbatas oleh waktu dan lagi-lagi batas itu berpihak pada gua.
Kuliah selesai, gua balik ke rumah dan sampe kamar pukul
20:37. Gua langsung mandi dan belajar untuk kuis besok, yap apalagi kalo bukan
tentang limit. Gua mulai me-review dari buku-buku yang gua punya. Ya emang
isinya nggak beda jauh sih tapi ada beberapa contoh soal berbeda yang membuat
gua lebih paham akan materinya.
Meskipun jam di kamar udah menunjukan pukul 02:05 entah
kenapa gua belum ngantuk. Bahkan gua udah me-review 3 buku, jadi saatnya
berlanjut ke buku yang terakhir. Agak aneh sih, kayaknya gua nggak pernah lihat
buku yang ini sebelumnya, kayaknya ini bukan buku gua deh. Bener aja, pas gua
buka halaman judulnya di sana tertulis nama “Pradika Dimas Wardhana”. Fix, ini
bukan buku gua, tapi dari mana gua dapetnya.
Setelah gua coba mengingat-ingat lagi, yap barulah gua sadar
mungkin ini punya cowok yang tadi tabrakan sama gua, mungkin buku kita ketuker.
Tapi nggak apa-apalah gua juga udah menyelesaikan buku yang ada di dia
sekarang, ya anggap aja ini untuk nambah pengetahuan gua tentang limit.
Gua mulai membuka setiap bukunya mulai dari kata pengantar.
Saat itulah gua mulai menemukan keganjilan, kayaknya ini bukan buku limit kayak
gua punya deh. Bahkan di kata pengantarnya pun nggak membahas tentang
matematika sama sekali. Well, karena penasaran, gua lanjutin ke halaman
selanjutnya dan mulai membaca paragraph awal, yang isinya kayak gini :
Limit atau dalam
bahasa Indonesia berarti batas. Sebenarnya mengapa limit ada? Hal-hal apa saja
yang membentuk limit? Bagaimana keberpihakan limit kepada kita? Coba tinjau,
analisa dan resapi. Bayangkan betapa indahnya dunia ini tanpa ada limit. Semua
orang menjadi makhluk yang immortal, mereka bebas untuk menggunakan sumberdaya
apapun, kapanpun, karena tidak ada kekhawatiran batas habis.
Pernahkah kalian
merasa dihakimi batas? Saat kalian telah mencoba dengan sekuat tenaga untuk
mencapai suatu hal, namun karena ada limit semuanya sia-sia? Ya, saat itulah
limit tidak berpihak pada kita. Bayangkan, betapa indahnya dunia ini tanpa
limit.
Huh, buku macam apa ni? Beda banget sama pandangan gua tentang
limit selama ini. Karena gua cukup muak untuk membaca setiap paragrafnya, gua
langsung menuju halaman terakhir aja. Disana gua menemukan tulisan tangan yang
cukup berantakan, ya tapi masih kebaca sih dan bertuliskan ini :
Buku ini benar, limit
emang nggak seharusnya ada. Betapa seringnya gua harus kecewa karena limit. Kenapa
Tuhan harus menciptakan limit? Untuk apa? Disaat kita juga harus mengekplorasi
hal yang kita miliki tanpa batas. Andaikan nggak ada limit untuk apapun itu,
mungkin… segalanya menjadi lebih indah.
Setelah kalimat-kalimat itu, terlihatlah tulisan tangan yang
sangat tegas dan jelas bertuliskan “Limit, I Hate You!”. Karena gua sangat
percaya akan hukum tarik-menarik semesta, gua pun langsung menutup buku itu dan
beranjak tidur. Gua nggak mau ujian gua gagal hanya karena terdoktrin oleh
kalimat terakhir itu.
Alarm gua bunyi pukul 05:30, seperti biasa. Karena udah
terbiasa untuk tidur maksimal 5 jam dalam sehari, jadi gua udah sama sekali
nggak ngantuk. Gua pun langsung ngeberesin segala hal untuk kuliah dan kembali
menjalankan rutinitas biasa. Meskipun gua udah bangun cukup pagi, tapi hal ini
nggak membuat gua bisa bersantai menuju limit, gua tetep harus gerak cepet
karena perjalanan dari rumah ke kampus cukup jauh. Well, syukurlah lagi-lagi
gua dapet kereta yang membuat gua nggak terlambat masuk kelas dan masuk kelas
tepat sebelum dosen mentup pintu.
Hari ini gua nggak akan pulang malem, karena nyokap minta gua
pulang lebih awal untuk bantuin masak makan malam. Sore ini pun gua nggak akan
pulang sendiri, gua akan pulang sama Kiki karena sebenernya kita tetanggaan,
cuma karena gua selalu pulang malem aja makanya kita nggak pernah pulang bareng.
“Tumben banget deh
lo, La, pulang jam segini?” tanya Kiki.
“Iya nih, Ki. Kebetulan hari ini gua lagi nggak ada rapat
dan emang nyokap gua minta gua untuk pulang lebih awal.”
“Oh gitu. Eh La,La, cepetan yuk kayaknya bentar lagi
keretanya akan masuk deh dan kalo kita nunggu, kita harus nunggu minimal 45
menit lagi.”
“Serius lo Ki?”
“Iya, La. Kereta yang belakangnya tuh jauh, yuk cepetan yuk.”
Lagi-lagi gua harus menghampiri limit, tapi gua optimis
untuk menaklukannya. Gua dan Kiki pun sedikit berlari untuk sampe ke stasiun.
Betul aja kereta yang menjadi target kita udah standby di sana. Kiki lari di
depan gua dan langsung masuk ke dalam kereta. Tapi saat gua mau naik, tiba-tiba
seorang lelaki keluar dari pintu itu dan nabrak gua, sehingga gua nggak bisa
naik. Dan pintu kereta pun tertutup sempurna.
“Limit,” kata gua dan cowok itu barengan. Gua langsung
ngeliat mukanya, seketika gua inget kalo dia adalah cowok yang waktu itu nabrak
gua dan bukunya ketuker.
“Hai,” kata dia dengan wajah sumringah. Ya jelas aja gua nggak
bisa menunjukan wajah yang sama karena udah bete banget ketinggalan kereta
karena dia dan gua harus menunggu minimal 45 menit untuk kedatangan kereta
selanjutnya.
“Sorry ya, karena gua lo jadi ketinggalan kereta.” Napasnya
masih nggak menentu, gua yakin dia berjuang sekuat tenaga untuk keluar dari
kereta tadi.
Handphone gua bordering, ada pesan dari Kiki:
“Sorry ya La, gua
duluan. Lo nggak apa-apa nunggu sendiri? Atau gua harus balik untuk nemein lo?”
Gua pun langsung bales :
“Nggak apa-apa kok Ki,
nggak perlu balik. Hati-hati di jalan ya, Ki.”
Kiki pun membalas :
“Maafin semua
kesalahan gua ya La, beneran deh gua nggak bermaksud ninggalin lo. Lo juga
hati-hati di jalan. Titip salam untuk nyokap lo ya, La:’)”
Dan untuk terakhir kalinya gua membalas :
“ sip :)”
“Jadi, lo harus nunggu lama ya untuk kereta selanjutnya?”
kata cowok nyebelin yang membuat gua ketinggalan kereta.
“Iya.”
“Ohya, La, gua bawa buku lo, lo bawa buku gua nggak?”
“Eh lo tau nama gua darimana?”
“Ya, gua kan baca buku lo dan ada nama lo di sana. Lalina
Anastasya, kan?”
“Iya, panggil aja gua Lala. Ngapain lo baca buku gua, itukan
buku matematika, emang lo suka matematika?”
“Bukan matematikanya, sih, judulnya membuat gua tertarik.”
“Ohya, buku lo ada di loker, gua tinggal di kampus,” kata
gua nggak mau basa-basi.
“Lo, keberatan nggak kalo balik lagi ke kampus dan ambil
buku gua? Please… gua butuh banget buku itu.”
Sumpah demi apapun, dia adalah orang termenyebalkan yang pernah
gua temui semasa hidup gua. Ya gimana
enggak coba dia udah ngebuat gua ketinggalan kereta dan sekarang dengan semena-mena
dia minta gua untuk balik lagi ke kampus ngambil bukunya yang ada di loker gua.
Super nyebelin, bisa-bisanya Tuhan mempertemukan gua sama orang mace mini.
“Ayolah, La, please. Sebenernya bukan bukunya sih, tapi ada
sesuatu yang gua selipin di tengah bukunya yang sangat gua butuhkan saat ini.
Ya, ya, ya.”
“Oke,” kata gua setengah nggak ikhlas. Kita pun akhirnya
keluar dari stasiun dan jalan balik ke kampus. Kalo aja kereta selanjutnya
langsung ada, pasti gua nggak akan mau deh balik lagi ke kampus untuk ngambil
buku dia.
“Kayaknya lo punya pemikiran berbeda tentang batas ya sama
gua,” katanya.
“Ya, yang gua lihat sih gitu. Ohya siapa nama lo?”
“Gua Dimas.”
“Ohya Dimas, asal lo tau ya, ini adalah pertamakalinya gua
gagal menaklukan limit.”
“Ohya? Gua justru sebaliknya, ini adalah pertama kalinya gua
berhasil menaklukan limit. Tadi gua ketiduran dan nggak sadar kalo udah sampe,
apalagi satu jam lagi gua akan ada ujian, entah kenapa gua merasa beruntung aja
hari ini. Ohya, La, makasih banyak ya, buku lo menambah pengetahuan gua banget
tentang limit di matematika. Dan catetan terakhir lo sih yang membuat gua
memandang limit sebagai hal yang berbeda.”
“Lo baca catetan terakhir gua? Emang gua nulis apa ya di
sana?”
“Iya gua bahkan hapal kok. Lo bilang, kenapa limit itu indah.
Keberadaannya membuat segala hal di dunia ini menjadi nyata. Keberadaannya dapat
mengklasifikasi orang-orang yang benar berjuang dalam hidupnya. Karena
limit-lah keajaiban itu terlihat nyata. Karena limit-lah aku percaya Tuhan itu
ada. Limit, I Love You!”
Gila, gua nggak nyangka dia bisa inget setiap detil kata
yang gua tuliskan di sana. Gua yakin dia nggak terlalu fokus sama konsep limit
yang ada di dalam buku matematika gua, tapi justru dia fokus sama tulisan yang
ada di belakang buku gua.
“Lo udah liat catetan gua di halaman terakhir, belum?”
“Udah kok. Sesaat sebelum gua ketinggalan kereta, gua masih
nggak ngerti kenapa lo bisa membenci limit. Tapi sekarang, gua bisa memandang
limit dari sisi yang berbeda. Dan gua rasa, selama ini gua hanya terlalu
beruntung, sehingga gua mengabaikan untuk apa sebenarnya limit itu ada.”
“Justru kebalikannya, La. Gua sekarang ngerti kenapa lo
sangat mencintai limit. Karena sebenernya nggak pernah ada limit di dalam hidup
lo, ya kan? Lo selalu terbebas dari limit,” kata Dimas diiringi senyum. “Lo
terlalu beruntung, La.”
“Iya, lo bener Dim, gua cuma beruntung, bahkan gua nggak
pernah menyentuh limit.”
Setelah sampe di depan loker, gua pun langsung balikin buku Dimas
dan dia langsung balikin buku gua. Handphone gua berdering, telepon dari nyokap.
“Kenapa, Ma?”
“Kamu nggak pulang bareng Kiki, kan, La? Kamu nggak apa-apa
kan, La?” tanya Mama terdengar panik.
“Enggak kok, Ma. Kenapa emangnya ma?”
“Syukurlah, Mama khawatir banget. Kereta yang dinaikin Kiki
mengalami kecelakaan, La. Baru aja Mama-nya Kiki dapet kabar.”
Gua pun langsung nutup telepon dari Mama. Gua nggak ngerti
lagi harus bilang apa dan merasa gimana. Dimas pun pasti melihat perbedaan
ekspresi wajah gua.
“Kenapa, La?”
Gua diam sejenak, bingung harus bilang apa, air mata gua
udah mulai tergenang.
“La?”
“Dim, kereta yang tadi lo naikin. Yang dinaikin sama temen
gua sekarang mengalami kecelakaan, Dim. Dia ada di sana.”
Dimas juga diam, nggak menjawab apapun, mungkin dia ngerti
apa yang lagi gua pikirin saat ini.
“Lo bener, Dim. limit nggak selamanya menguntungkan. Buat
apa ada limit. Seandainya tadi gua dan Kiki dateng lebih dari limit, mungkin
nggak akan kayak gini. Untuk apa hidup ada limitnya, untuk apa?”
“Lo nggak boleh gitu, La. Seenggaknya lo harus bersyukur
atas satuhal. Seandaikan limit nggak ada, mungkin sekarang gua masih ada di
dalam kereta itu, begitu juga lo. Dan kita, sampai pada limit hidup kita. Gua
turut berduka atas temen lo, La.”
Gua pun langsung berjalan meninggalkan Dimas menuju tempat
di mana gua bisa sendiri. Gua kembali merenungkan tentang limit. Kenapa
terkadang kehadirannya terasa sangat menguntungkan, namun terkadang malah
sebaliknya.
Limit, haruskah engkau ada?