Labels

My Fan Page

Translate

Jurnalistika Febra Ariella On Minggu, 22 Desember 2013



*Cerita ini hanya fiktif belaka, sebuah pemikiran tentang "Limit".*

Rutinitas setiap pagi, harus ke kampus, ngurusin berbagai hal terus pulang, dari senin sampe jumat nggak ada berhentinya. Seperti biasa, pagi ini gua beresin beberapa buku ke dalam tas (meskipun ada lebih dari satu tapi tetep aja bukunya punya judul yang sama, yaitu “Limit”) totalnya ada 4 buku. Dan seperti biasa lagi gua lupa untuk mempertimbangkan harus taro dimana laptop sebesar 14 inch yang harus banget gua bawa setiap hari, akhirnya gua keluarin tiga buku bertuliskan “Limit” di depannya dan memasukan laptop gua ke dalam tas.

Setelah semua siap, gua pun langsung bergegas berangkat karena gua tau waktu gua nggak banyak. Yap, hampir setiap hari gua nyaris telat masuk kelas tapi untungnya gua selalu menjadi orang terakhir yang masuk kelas. Entah kenapa seolah batas selalu berpihak kepada gua. Nah, pas banget kan nih sama matkul gua yang lagi ngebahas limit (batas), entah kenapa semua hal yang ada disemesta seolah membuat gua untuk mencintai limit.

Guys, coba lo bayangin betapa buruknya dunia ini kalo nggak ada limit. Semua hal akan berlebihan, nggak ada keistimewaan bagi orang-orang yang berhasil lolos dari limit. Terus kalo nggak ada limit, matematika pasti nggak akan terasa seindah ini, karena pasti akan banyak nilai-nilai menuju tak hingga dan discontinue yang nggak bisa dicari penyelesaiannya. See, betapa indahnya limit menjadikan hal yang nggak ada itu ada :)

Balik lagi ke dalam kehidupan gua. Pagi ini lagi-lagi gua nyaris ketinggalan kereta, ya sebenernya sih kalo nggak naik kereta ini gua masih bisa naik kereta selanjutnya, tapi bisa dipastikan gua akan terlambat masuk kelas. Beberapa detik sebelum pintu kereta ditutup, gua berhasil masuk ke dalamnya. Well, how beautiful the limit.

Karena waktunya udah terbatas banget, gua pun harus sedikit berlari dari stasiun kereta sampe ke kelas gua. Entah kenapa mungkin hari ini gua kurang beruntung, gua harus tabrakan di depan koridor sama seorang cowok yang kayaknya nggak pernah gua liat sebelumnya, gua yakin dia bukan temen sefakultas gua. Karena tabrakannya lumayan keras ya gua sempet jatoh dan buku-buku gua berserakan, buku dia pun juga.

“Sorry ya, gua nggak sengaja,” kata cowok itu. Gua udah nggak peduli sama sekali, yang gua pedulikan saat ini adalah mengambil 4 buah buku yang tercecer di lantai dengan tulisan “Limit” dan langsung masuk ke dalam kelas, karena kalo nggak pasti gua akan terlambat dan nggak boleh masuk kelas. Untungnya, batas masih berpihak pada gua. Gua berhasil berdiri di depan pintu kelas saat dosen mau nutup pintu, ya jadi gua masih boleh masuk deh. Nggak cuma di awal hari, entah kenapa sepanjang hari di sepanjang kehidupan gua hingga detik ini, semuanya selalu berbatas oleh waktu dan lagi-lagi batas itu berpihak pada gua.

Kuliah selesai, gua balik ke rumah dan sampe kamar pukul 20:37. Gua langsung mandi dan belajar untuk kuis besok, yap apalagi kalo bukan tentang limit. Gua mulai me-review dari buku-buku yang gua punya. Ya emang isinya nggak beda jauh sih tapi ada beberapa contoh soal berbeda yang membuat gua lebih paham akan materinya.

Meskipun jam di kamar udah menunjukan pukul 02:05 entah kenapa gua belum ngantuk. Bahkan gua udah me-review 3 buku, jadi saatnya berlanjut ke buku yang terakhir. Agak aneh sih, kayaknya gua nggak pernah lihat buku yang ini sebelumnya, kayaknya ini bukan buku gua deh. Bener aja, pas gua buka halaman judulnya di sana tertulis nama “Pradika Dimas Wardhana”. Fix, ini bukan buku gua, tapi dari mana gua dapetnya.

Setelah gua coba mengingat-ingat lagi, yap barulah gua sadar mungkin ini punya cowok yang tadi tabrakan sama gua, mungkin buku kita ketuker. Tapi nggak apa-apalah gua juga udah menyelesaikan buku yang ada di dia sekarang, ya anggap aja ini untuk nambah pengetahuan gua tentang limit.

Gua mulai membuka setiap bukunya mulai dari kata pengantar. Saat itulah gua mulai menemukan keganjilan, kayaknya ini bukan buku limit kayak gua punya deh. Bahkan di kata pengantarnya pun nggak membahas tentang matematika sama sekali. Well, karena penasaran, gua lanjutin ke halaman selanjutnya dan mulai membaca paragraph awal, yang isinya kayak gini :

Limit atau dalam bahasa Indonesia berarti batas. Sebenarnya mengapa limit ada? Hal-hal apa saja yang membentuk limit? Bagaimana keberpihakan limit kepada kita? Coba tinjau, analisa dan resapi. Bayangkan betapa indahnya dunia ini tanpa ada limit. Semua orang menjadi makhluk yang immortal, mereka bebas untuk menggunakan sumberdaya apapun, kapanpun, karena tidak ada kekhawatiran batas habis.
Pernahkah kalian merasa dihakimi batas? Saat kalian telah mencoba dengan sekuat tenaga untuk mencapai suatu hal, namun karena ada limit semuanya sia-sia? Ya, saat itulah limit tidak berpihak pada kita. Bayangkan, betapa indahnya dunia ini tanpa limit.

Huh, buku macam apa ni? Beda banget sama pandangan gua tentang limit selama ini. Karena gua cukup muak untuk membaca setiap paragrafnya, gua langsung menuju halaman terakhir aja. Disana gua menemukan tulisan tangan yang cukup berantakan, ya tapi masih kebaca sih dan bertuliskan ini :

Buku ini benar, limit emang nggak seharusnya ada. Betapa seringnya gua harus kecewa karena limit. Kenapa Tuhan harus menciptakan limit? Untuk apa? Disaat kita juga harus mengekplorasi hal yang kita miliki tanpa batas. Andaikan nggak ada limit untuk apapun itu, mungkin… segalanya menjadi lebih indah.

Setelah kalimat-kalimat itu, terlihatlah tulisan tangan yang sangat tegas dan jelas bertuliskan “Limit, I Hate You!”. Karena gua sangat percaya akan hukum tarik-menarik semesta, gua pun langsung menutup buku itu dan beranjak tidur. Gua nggak mau ujian gua gagal hanya karena terdoktrin oleh kalimat terakhir itu.

Alarm gua bunyi pukul 05:30, seperti biasa. Karena udah terbiasa untuk tidur maksimal 5 jam dalam sehari, jadi gua udah sama sekali nggak ngantuk. Gua pun langsung ngeberesin segala hal untuk kuliah dan kembali menjalankan rutinitas biasa. Meskipun gua udah bangun cukup pagi, tapi hal ini nggak membuat gua bisa bersantai menuju limit, gua tetep harus gerak cepet karena perjalanan dari rumah ke kampus cukup jauh. Well, syukurlah lagi-lagi gua dapet kereta yang membuat gua nggak terlambat masuk kelas dan masuk kelas tepat sebelum dosen mentup pintu.

Hari ini gua nggak akan pulang malem, karena nyokap minta gua pulang lebih awal untuk bantuin masak makan malam. Sore ini pun gua nggak akan pulang sendiri, gua akan pulang sama Kiki karena sebenernya kita tetanggaan, cuma karena gua selalu pulang malem aja makanya kita nggak pernah pulang bareng.

“Tumben banget deh lo, La, pulang jam segini?” tanya Kiki.

“Iya nih, Ki. Kebetulan hari ini gua lagi nggak ada rapat dan emang nyokap gua minta gua untuk pulang lebih awal.”

“Oh gitu. Eh La,La, cepetan yuk kayaknya bentar lagi keretanya akan masuk deh dan kalo kita nunggu, kita harus nunggu minimal 45 menit lagi.”

“Serius lo Ki?”

“Iya, La. Kereta yang belakangnya tuh jauh, yuk cepetan yuk.”

Lagi-lagi gua harus menghampiri limit, tapi gua optimis untuk menaklukannya. Gua dan Kiki pun sedikit berlari untuk sampe ke stasiun. Betul aja kereta yang menjadi target kita udah standby di sana. Kiki lari di depan gua dan langsung masuk ke dalam kereta. Tapi saat gua mau naik, tiba-tiba seorang lelaki keluar dari pintu itu dan nabrak gua, sehingga gua nggak bisa naik. Dan pintu kereta pun tertutup sempurna.

“Limit,” kata gua dan cowok itu barengan. Gua langsung ngeliat mukanya, seketika gua inget kalo dia adalah cowok yang waktu itu nabrak gua dan bukunya ketuker.

“Hai,” kata dia dengan wajah sumringah. Ya jelas aja gua nggak bisa menunjukan wajah yang sama karena udah bete banget ketinggalan kereta karena dia dan gua harus menunggu minimal 45 menit untuk kedatangan kereta selanjutnya.

“Sorry ya, karena gua lo jadi ketinggalan kereta.” Napasnya masih nggak menentu, gua yakin dia berjuang sekuat tenaga untuk keluar dari kereta tadi.

Handphone gua bordering, ada pesan dari Kiki:
“Sorry ya La, gua duluan. Lo nggak apa-apa nunggu sendiri? Atau gua harus balik untuk nemein lo?”

Gua pun langsung bales :
“Nggak apa-apa kok Ki, nggak perlu balik. Hati-hati di jalan ya, Ki.”

Kiki pun membalas :
“Maafin semua kesalahan gua ya La, beneran deh gua nggak bermaksud ninggalin lo. Lo juga hati-hati di jalan. Titip salam untuk nyokap lo ya, La:’)”

Dan untuk terakhir kalinya gua membalas :
“ sip :)”

“Jadi, lo harus nunggu lama ya untuk kereta selanjutnya?” kata cowok nyebelin yang membuat gua ketinggalan kereta.

“Iya.”

“Ohya, La, gua bawa buku lo, lo bawa buku gua nggak?”

“Eh lo tau nama gua darimana?”

“Ya, gua kan baca buku lo dan ada nama lo di sana. Lalina Anastasya, kan?”

“Iya, panggil aja gua Lala. Ngapain lo baca buku gua, itukan buku matematika, emang lo suka matematika?”

“Bukan matematikanya, sih, judulnya membuat gua tertarik.”

“Ohya, buku lo ada di loker, gua tinggal di kampus,” kata gua nggak mau basa-basi.

“Lo, keberatan nggak kalo balik lagi ke kampus dan ambil buku gua? Please… gua butuh banget buku itu.”

Sumpah demi apapun, dia adalah orang termenyebalkan yang pernah gua temui semasa hidup gua.  Ya gimana enggak coba dia udah ngebuat gua ketinggalan kereta dan sekarang dengan semena-mena dia minta gua untuk balik lagi ke kampus ngambil bukunya yang ada di loker gua. Super nyebelin, bisa-bisanya Tuhan mempertemukan gua sama orang mace mini.

“Ayolah, La, please. Sebenernya bukan bukunya sih, tapi ada sesuatu yang gua selipin di tengah bukunya yang sangat gua butuhkan saat ini. Ya, ya, ya.”

“Oke,” kata gua setengah nggak ikhlas. Kita pun akhirnya keluar dari stasiun dan jalan balik ke kampus. Kalo aja kereta selanjutnya langsung ada, pasti gua nggak akan mau deh balik lagi ke kampus untuk ngambil buku dia.

“Kayaknya lo punya pemikiran berbeda tentang batas ya sama gua,” katanya.

“Ya, yang gua lihat sih gitu. Ohya siapa nama lo?”

“Gua Dimas.”

“Ohya Dimas, asal lo tau ya, ini adalah pertamakalinya gua gagal menaklukan limit.”

“Ohya? Gua justru sebaliknya, ini adalah pertama kalinya gua berhasil menaklukan limit. Tadi gua ketiduran dan nggak sadar kalo udah sampe, apalagi satu jam lagi gua akan ada ujian, entah kenapa gua merasa beruntung aja hari ini. Ohya, La, makasih banyak ya, buku lo menambah pengetahuan gua banget tentang limit di matematika. Dan catetan terakhir lo sih yang membuat gua memandang limit sebagai hal yang berbeda.”

“Lo baca catetan terakhir gua? Emang gua nulis apa ya di sana?”

“Iya gua bahkan hapal kok. Lo bilang, kenapa limit itu indah. Keberadaannya membuat segala hal di dunia ini menjadi nyata. Keberadaannya dapat mengklasifikasi orang-orang yang benar berjuang dalam hidupnya. Karena limit-lah keajaiban itu terlihat nyata. Karena limit-lah aku percaya Tuhan itu ada. Limit, I Love You!”

Gila, gua nggak nyangka dia bisa inget setiap detil kata yang gua tuliskan di sana. Gua yakin dia nggak terlalu fokus sama konsep limit yang ada di dalam buku matematika gua, tapi justru dia fokus sama tulisan yang ada di belakang buku gua.

“Lo udah liat catetan gua di halaman terakhir, belum?”

“Udah kok. Sesaat sebelum gua ketinggalan kereta, gua masih nggak ngerti kenapa lo bisa membenci limit. Tapi sekarang, gua bisa memandang limit dari sisi yang berbeda. Dan gua rasa, selama ini gua hanya terlalu beruntung, sehingga gua mengabaikan untuk apa sebenarnya limit itu ada.”

“Justru kebalikannya, La. Gua sekarang ngerti kenapa lo sangat mencintai limit. Karena sebenernya nggak pernah ada limit di dalam hidup lo, ya kan? Lo selalu terbebas dari limit,” kata Dimas diiringi senyum. “Lo terlalu beruntung, La.”

“Iya, lo bener Dim, gua cuma beruntung, bahkan gua nggak pernah menyentuh limit.”

Setelah sampe di depan loker, gua pun langsung balikin buku Dimas dan dia langsung balikin buku gua. Handphone gua berdering, telepon dari nyokap.

“Kenapa, Ma?”

“Kamu nggak pulang bareng Kiki, kan, La? Kamu nggak apa-apa kan, La?” tanya Mama terdengar panik.

“Enggak kok, Ma. Kenapa emangnya ma?”

“Syukurlah, Mama khawatir banget. Kereta yang dinaikin Kiki mengalami kecelakaan, La. Baru aja Mama-nya Kiki dapet kabar.”

Gua pun langsung nutup telepon dari Mama. Gua nggak ngerti lagi harus bilang apa dan merasa gimana. Dimas pun pasti melihat perbedaan ekspresi wajah gua.

“Kenapa, La?”

Gua diam sejenak, bingung harus bilang apa, air mata gua udah mulai tergenang.

“La?”

“Dim, kereta yang tadi lo naikin. Yang dinaikin sama temen gua sekarang mengalami kecelakaan, Dim. Dia ada di sana.”

Dimas juga diam, nggak menjawab apapun, mungkin dia ngerti apa yang lagi gua pikirin saat ini.

“Lo bener, Dim. limit nggak selamanya menguntungkan. Buat apa ada limit. Seandainya tadi gua dan Kiki dateng lebih dari limit, mungkin nggak akan kayak gini. Untuk apa hidup ada limitnya, untuk apa?”

“Lo nggak boleh gitu, La. Seenggaknya lo harus bersyukur atas satuhal. Seandaikan limit nggak ada, mungkin sekarang gua masih ada di dalam kereta itu, begitu juga lo. Dan kita, sampai pada limit hidup kita. Gua turut berduka atas temen lo, La.”

Gua pun langsung berjalan meninggalkan Dimas menuju tempat di mana gua bisa sendiri. Gua kembali merenungkan tentang limit. Kenapa terkadang kehadirannya terasa sangat menguntungkan, namun terkadang malah sebaliknya.

Limit, haruskah engkau ada?



Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments