Badai konflik yang tengah melandaku dan John benar-benar membuatku sulit untuk bernapas. Dia bilang, "...everything was gonna be alright." Tapi aku sama sekali tidak berpikiran seperti itu. Ini bukan masalah sepele yang bisa dibiarkan begitu saja. Bayangkan saja, pernikahan kami sudah di depan mata dan dia membatalkannya begitu saja.
Pernikahan ternyata tak semudah apa yang kubayangkan. Hubunganku dengan John tidak direstui oleh kudua orangtua kami hanya masalah perbedaan agama.
Siang ini aku bertekad untuk menyelesaikan semua permasalahan ini. Kutelepon orangtua John untuk menemuiku di salah satu resto di daerah New York City. Aku tidak memberitahu mereka maksud dan tujuanku yang sebenarnya karena aku tidak ingin mereka tidak hadir.
Setelah masalah dengan orangtua John teratasi, sekarang adalah waktunya untuk membujuk orangtuaku. Aku juga tidak akan memberitahukan maksud dan tujuan ini kepada mereka. Dan ternyata membujuk mereka jauh lebih sulit dari yang kubayangkan. Bahkan aku harus bermanja-manja dahulu untuk mendapatkan sebuah kata "Ya" dari Dad. Tapi akhirnya mereka mau ikut denganku.
Aku bergegas mengeluarkan mobil dari garasi dan menyuruh mereka untuk masuk ke dalam mobil. Aku berusaha untuk mengendarai mobil secepat mungkin agar orangtua John terlalu lama menunggu.
Aku terlambat, orangtua John sudah datang walaupun sepertinya baru sejenak. Aku menghampiri mereka dan mengajak kedua orangtuaku untuk bergabung bersama. Persis seperti yang kuduga mereka malah saling memandang sinis dan Mom menyalahkanku atas semua ini dan minta agar kami untuk pindah meja bahkan restoran.
Kuredamkan emosi diantara mereka dan kami pun duduk melingkar di meja yang memang berkapasitas untuk 5 orang. Perlahan kucoba untuk mengungkapkan maksud dan tujuan semua ini. Namun, kericuhan kembali terjadi, bukan hanya dari orangtuaku saja tapi orangtua John juga.
Kembali kuredam amarah mereka dan kembali bicara perlahan tapi pasti. Kukeluarkan argumen-argumen yang bisa membuatku menang dalam konfrensi ini -menurutku ini bak konfrensi-.
Tak ada satu pun yang berbicara diantara mereka. Mom dan Mrs. Waltson -ibunda John- saling bertatapan sinis. Sedangkan Dad dan Mr. Waltson malah membuang muka dari pandangan satu sama lain.
Terpaksa aku kembali berbicara, tapi kali ini tidak hanya menunjukkan argumen, aku juga membujuk mereka. Tetap tak ada respon apa pun sampai akhirnya Dad bicara.
"Kuhargai usahamu, Em. Kurestui kau untuk menikah dengan John," kata Dad yang langsung meninggalkan meja.
Mom dan Mrs. Waltson masih bertataptatapan sinis. Sedangkan Mr. Waltson hanya termenung.
"Keputusan ada di tanganmu, sayang," kata Mr. Waltson meninggalkan isterinya.
Entah mengapa aku merasa semuanya akan menjadi sangat sulit melihat sikap Mom dan Mrs. Waltson. Bahkan aku berniat untuk menyudahi semua ini, sampai akhirnya Mrs. Waltson berbicara, "Kuserahkan semuanya pada anakku."
Mrs. Waltson pergi meninggalkan meja, hanya aku dan Mom yang ada di meja ini. Mom membuang pandangan dariku dan meninggalkan meja.
Tak sepatah kata pun keluar saat kami dalam perjalanan pulang. Sepertinya Mom memang tidak menyetujuinya dan hal itu tidak akan pernah terjadi. Oh Tuhan, haruskah semuanya berakhir di sini?
"Kau sudah dewasa dan kuharap kau bisa memperhitungkan kembali niatmu. Apapun keputusanmu, aku setuju." Itu adalah kata-kata pertama kali yang keluar dari mulut Mom saat kami selesai makan malam.
Kegembiraanku tak tertahankan lagi, segera kuberitahukan John tentang berita gembira ini. Entah karena terlalu gembira atau apa, John mengajakku untuk bertemu malam ini di taman terdekat dari rumahku.
Lagi-lagi aku terlambat, dia sudah hadir di sana. Dia duduk dibangku taman dengan sweater hitam dan tampak sangat memesona. Diakah calon pengantinku? Oh Tuhan biarkanlah itu menjadi sebuah kenyataan bukan sekedar angan-angan.
Wajahnya tak tampak terlalu bahagia. Ada apa ini, jangan-jangan orangtuanya menyuruhnya untuk membatalkan semua ini.
"Emma, kau tahu apa yang tidak tahu?" tanyanya.
"Tentu saja tidak, apa maksudmu John?" jawabku sambil terkekeh.
"Kurasa kita harus mengurungkan semua niat bodoh ini."
"Hei, kau menganggap semua ini bodoh? Aku mencintaimu John dan akan selalu seperti itu."
"Kau boleh mencintaiku tetapi kau tidak boleh menikah denganku."
"John...," kataku tak percaya.
"Emma, aku menyayangimu, mencintaimu, mengasihimu. Tapi maaf, aku hanya ingin memberikan yang terbaik untukmu. Kita urungkan saja semua niat ini."
"John, demi Tuhan."
"Urungkan semua niat ini and everything was gonna be alright."
Dia meninggalkanku begitu saja, tanpa harapan dan kepastian apapun. Gerimis mulai mewarnai malam suramku, aku pun bergegas kembali ke rumah. Tanpa mengganti pakaianku yang basah, kuhempaskan tubuh ke atas ranjang dan menangis sejadi-jadinya.
Badai konflik yang tengah melandaku dan John benar-benar membuatku sulit untuk bernapas. Dia bilang, "...everything was gonna be alright". Tapi aku sama sekali tidak berpikir seperti itu. Ini bukan masalah sepele yang bisa dibiarkan begitu saja. Bayangkan saja, dipernikahan kami sudah di depan mata dan dia membatalkannya begitu saja.
Aku tidak bisa terus begini, aku tidak bisa membatalkan pernikahan ini. Aku harus menemui John, aku harus tahu apa alasannya dan aku harus membujuknya.
Hari ini John tidak kerja, itu artinya dia ada di rumah. Aku langsung mengeluarkan mobil dan menggas mobil dengan kecepatan 60 mph. Rumahnya tampak sepi, sepertinya dia masih tidur.
Kuketuk pintu rumahnya penuh dengan perasaan ragu. Suara decit pintu menimbulkan harapan tersendiri bagiku. Wajahnya yang konyol nampak baru bangun tidur dan rambut berantakannya membuatku dapat tersenyum dibalik kepedihan ini.
"Em, untuk apa kau ke sini?" tanyanya.
Aku diam tak menjawab karena aku memang tidak ingin membicarakan semuanya di depan pintu.
"Oh ya, silakan masuk," katanya ramah.
"Perlu kubuatkan minum?"
"John, kumohon jangan anggap aku seperti orang lain. Kau tahu apa yang ingin kulakukan di sini."
"Apakah kata-kataku semalam tidak cukup jelas, Em?" Dia mendekatiku dan duduk di sofa, di sebelahku.
"Aku hanya ingin tahu apa alasanmu, tapi kumohon jawab dengan jujur."
"Emma, bukankah sudah kukatakan bahwa kau tak perlu tahu?"
"Tapi aku ingin tahu John, aku berhak atas itu," bentakku.
Suasana hening sejenak, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutku atau pun mulut John. John menggenggap tanganku.
"Kau takut?" tanyanya.
"Takut?"
"Apakah kau takut jika seseorang yang terkena HIV dan sudah difonis menderita AIDS berpegangan tangan denganmu?"
Aku diam tak berani berkata-kata dan menafsirkan. Mulutku terbuka dan tanganku pun mulai lemas sampai akhirnya John melepaskan tangannya dari tanganku. Dia meninggalkanku di ruang tamu seorang diri.
Oh Tuhan, entah apa yang harus kuperbuat. Selama ini aku menjalin hubungan dengan John tetapi aku tidak pernah tahu jika dia penderita AIDS. Aku tahu apa yang dirasakannya sekarang. Perasaan tidak percaya diri yang membuatnya ingin memutuskan hubungan denganku.
Kuputuskan untuk menghampirinya yang sedang membuat secangkir kopi di dapur. Dia berbalik badan dan mendapatiku sedang tertegun di ambang pintu.
"Tinggalkan aku, Emma. Kau sudah tau apa alasanku."
"Tidak," refleks aku menjawab seperti itu.
"Hei, manusia bodoh, kau mau menderita sepertiku?" tanyanya sambil terkekeh.
"John, mungkin saja aku sudah tertular. Jadi, apa salahnya untuk tetap melangsungkan pernikahan."
"Jangan bodoh Emma, kita tidak pernah bersetubuh dan hanya itu satu-satunya cara penularan virus tersebut."
"Sekalipun seperti itu, aku tidak perduli. Aku tetap akan memintamu untuk menikah denganku."
John menatapku sinis dia mendekatiku dan melotot ke arahku.
"Itu tidak akan pernah terjadi," bentaknya.
"John ayolah, kau tahu kita saling mencintai."
"Tapi pernikahan bukanlah hanya tentang cinta Emma. Kau pikir aku akan tega melihatmu terluka. Lantas bagaimana anak kita, kalau suatu saat kita memang memiliki seorang anak."
"Tapi John...,"
"Sudah. Kumohon kau pergi dari rumahku."
Dia mendorongku sampai ke pintu rumah. Dia mengusirku bagaikan sampah. Demi Tuhan, aku tidak pernah berpikir dia akan berpikir seperti ini.
"John!" bentaku membuatnya diam.
Air mataku mulai berlinang, aku tidak bisa memendam semua ini. Bahkan aku rela menjadi penderitan AIDS sekalipun agar aku bisa hidup bersamanya.
"Nikahi aku."
"Kau orang terbodoh yang pernah kutemui di dunia ini, Emma."
"Tapi John, pernikahan bukanlah hanya tentang sex. Kita bisa mencegah semua itu agar tidak terjadi. Yang kumau hanyalah bersamamu, menjagamu, tak perduli apapun yang terjadi."
"Emma," katanya begitu lembut dan membawaku ke dalam dekapannya.
Akhirnya John mau menikahiku. Adikku bersedia untuk membereskan semua masalah pernikahan kami. Dan pernikahan itu, bukahlah lagi hanya sekedar angan-angan.
Hari itu tiba, aku mengenakan gaun pengantin berwarna putih seperti yang sering kuimpikan selama ini. Sementara John mengenakan Jas putih yang juga nampak memesona. Pernikahan itu akan kuraih dalam hitungan menit.
Gereja yang di penuhi orang itu membawaku ke gembiraan yang takan terlupa. Dad menggandengku memasuki geraja dan memberikan tanganku pada John. Walaupun wajah John nampak begitu pucat. Tapi ada semangat dan kebahagiaan dibalik itu.
Pendeta siap mempersatukan kami di hadapan Tuhan. Ketika sang pendeta bertanya apakah ada yang keberatan dengan pernikahan kami, tiba-tiba John pingsan, dia jatuh terkulai di kakiku.
Kami bergegas membawanya ke rumah sakit, secepat yang kami bisa. Saat sampai di sana kutaruh semua harapanku pada seseorang berjas putih dengan papan nama dokter.
"Tolong selamatkan, calon suamiku," kataku penuh dengan air mata.
"Aku akan membantu sebisaku, Nona."
Pintu ruang UGD tertutup rapat, tak memberi kesempatan untuku melihat John yang sedang kesakitan. Tak hentinya aku berdoa agar pernikahan ini dapat kembali dilanjutkan. Tapi tuhan berkata lain.
Dokter keluar dengan wajah kecewa dan aku tahu apa artinya. Tubuh John diselimuti kain putih, dia lemah tak berdaya. Dia diam, bagaikan patung, dan tidak bernapas.
Barulah kusadar, inilah akhir kisah cintaku. Pedih, menyakitnyan, tapi ini adalah hidup. Oh God, How a Hard Life? And I'll answer this is a Hard Life.