Labels

My Fan Page

Translate

Jurnalistika Febra Ariella On Jumat, 06 Januari 2012


Bunyi alarm membangunkan Dina tepat pukul 05.00. Dina kemudian mengambil air wudhu dan menyegerakan diri untuk shalat. Seperti biasa, Dina shalat berjamaah bersama ayah, ibu dan kakak laki-lakinya, Ernes.
Selesai shalat, Dina bergegas mandi dan menyiapkan segala perlengkapan untuk sekolah. Begitu juga dengan Ernes, dia menyiapkan segala perlengkapan untuk kuliah. Setelah selesai, mereka kembali berkumpul untuk sarapan bersama.
Tak seperti biasanya, hari ini Ernes tidak mau mengantar Dina ke sekolah. Tentu saja hal itu membuat Dina kesal dan ngambek. Dengan terpaksa, Dina pun ke sekolah naik angkutan umum karena ayahnya juga tidak dapat mengantar.
Jalanan yang macet menambah kekesalannya dan menyebabkan Dina terlambat sampai sekolah. Alhasil, dia mendapat hukuman dari guru piket pada 2 jam pelajaran pertama. Hal ini membuatnya tidak dapat mengikuti ulangan matematika pada jam pertama.
Segala kekesalannya tertuju pada satu orang yaitu Ernes. Dina sepenuhnya menyalahkan Ernes atas segala kesialan yang menimpanya hari ini. Dia sudah berniat untuk meluapkan segala rasa kesalnya ketika bertemu Ernes nanti dan dia tidak akan memaafkan Ernes apa pun yang terjadi.
Bel sekolah berbunyi, menandakan telah tiba saatnya untuk kembali ke rumah. Namun rasa kesal yang menyelimutin Dina tak kunjung berkurang, malah sebaliknya karena setiba di rumah nanti dia pasti akan melihat Ernes. Segala kekesalan dan amarah yang telah membumbung tinggi itu siap untuk diledakan di depan Ernes.
Namun tanpa di sangka-sangka Ernes pun datang untuk menjemput Dina, tak seperti biasanya.
“Mas Ernes mau apa?” tanya Dina ketus membuang muka dari Ernes.
“Mau jemput kamulah, Din. Ayo kita pulang,” kata Ernes sambil membukakan pintu mobilnya.
“Nggak perlu, Dina bisa pulang sendiri”. Dina tak sama sekali mengalihkan pandangannya kepada Ernes.
“Oh, Dina masih marah ya karena tadi nggak Mas anter?”
Dina tak sama sekali merespon perkataan kakaknya. Dia masih menatap ke sudut jalan menanti angkutan yang lewat tanpa menganggap keberadaan Ernes.
“Dina, jangan marah, dong. Mas Ernes minta maaf, ya”. Dina tetap tak menunjukkan respon apa pun.
“Dina, pulang, yo. Mama dan Papa pasti udah nungguin di rumah. Kita kan mau makan malam di rumah Om Herman”. Ernes meraih tangan Dina dan menariknya ke dalam mobil, namun Dina menyentaknya keras dan membentak Ernes.
“Mas Ernes pulang aja sendiri. Oh ya, bilang sama Mama dan Papa aku nggak ikut ke rumah Om Herman. Asal Mas Ernes tahu ya, gara-gara Mas nggak mau nganterin Dina ke sekolah, Dina terlambat dan nggak ikut ulangan Matematika. Lagian Mas Ernes kenapa sih nggak mau nganter Dina? Padahal kan hari ini kelas pertama Mas Ernes dimulai jam 08.00, harusnya Mas Ernes masih punya waktu dong untuk nganter Dina.”
“Maaf, Din. Tadi pagi Mas ada keperluan dulu, jadi nggak bisa nganter kamu.”
“Terserah deh apa alasan Mas Ernes, yang jelas Dina nggak mau pulang bareng Mas Ernes,” bentak Dina.
“Dina, ayolah. Mama dan Papa udah nyuruh Mas untuk jemput kamu. Ayo, Din.”
“Enggak, urus aja diri Mas sendiri, nggak usah perduliin aku. Aku nggak mau ikut ke rumah Om Herman”. Dina memberhentikan angkutan umum yang lewat dan segera naik tanpa menghiraukan Ernes yang memanggil-manggil namanya.
Walaupun Dina sudah memaki dan membentak Ernes, namun tak sedikit pun amarah yang melandanya berkurang, malah semakin menjadi. Ingin rasanya ia kembali memaki Ernes dan menceritakan segala yang telah dialaminya hari ini kepada ibunya agar ibunya turut menyalahkan Ernes atas semua ini.
Setiba di rumah, Dina langsung mengunci diri di kamar. Dia tidak lagi memperdulikan acara keluargan untuk berkunjung ke rumah Om Herman. Bahkan dia pun tidak ikut shalat Magrib berjamaah seperti biasanya. Dina berpikir bahwa orangtuanya pasti akan memaklumi karena Ernes pasti sudah menceritakan kejadian yang mereka alami tadi. Ernes pun pasti telah menceritakan kepada keduaorangtuanya bahwa Dina mau ikut ke rumah Om Herman malam ini.
“Tok, tok, tok” . Dina membuka pintu kamar, berpikir bahwa itu adalah ibunya yang hendak menengoknya sebelum pergi ke rumah Om Herman.
Di depan pintu, ibunya berdiri dengan linangan air mata.
“Mama kenapa?” tanya Dina penasaran sekaligus tak tega melihat ibunya yang selalu ceria namun kali ini menangis.
“Kita harus ke rumah sakit, sayang. Ayo, ganti bajumu.”
“Siapa yang sakit, Ma?”
“Nanti Mama kasih tahu, tapi kamu cepat ganti baju ya. Mama tunggu di mobil.”  
Dina bergegas mengganti pakaiannya sambil bertanya-tanya di dalam hati siapa orang yang dimaksud ibunya. Setelah selesai, dia segera menuju mobil tanpa memikirkan lagi niatnya untuk mengadukan kejadian yang dialaminya hari ini kepada ibunya. Di mobil sudah ada ayah dan ibunya, namun tidak ada Ernes disana. Walupun terasa janggal, namun Dina tidak mau memikirkannya, toh dia masih kesal pada Ernes.
Sampai di rumah sakit ibunya langsung menarik tangannya menuju UGD.
“Ma, siapa yang masuk UGD?”
Ibunya tidak menjawab sampai akhirnya dia menemukan Ernes yang sedang terbaring dan mengerang menahan sakit dengan pakaian yang bersimbah darah.
“Mas Ernes,” panggil Dina lirih.
“Hai, Dina”. Ernes menolehkan wajah ke arah Dina sambil tersenyum.
“Mas Ernes kenapa?” tanya Dina dengan perasaan terenyuh.
“Sewaktu pulang dari sekolahmu Ernes mengalami kecelakaan, Din,” kata ayahnya menjelaskan.”
“Aaa…” Ernes mengerang kesakitan sambil memeggangi dadanya.
“Ernes, kamu nggak apa-apa, kan?” tanya ibunya.
“Nggak apa-apa kok, Ma”. Ernes berusaha mengeluarkan suaranya dengan penuh kesakitan.
“Oh ya, Ernes mau menjelaskan sesuatu kepada Dina biar nggak ada kesalahpahaman.”
Ernes menarik napas dalam, berusaha membebaskan diri dari kesakitan dan melanjutkan kata-katanya, “Sebenarnya tadi Mas Ernes nggak bisa nganter kamu karena…” Ernes kembali menarik napas dalam untuk mengalihkan rasa sakitnya. Kemudian dia melanjutkan, “karena Mas pergi ke toko, beli boneka untuk hadiah ulang tahun kamu besok.”
Ernes kembali menarik napas panjang.
“Mas takut nggak sempet kalau belinya sepulang kuliah. Belum lagi seharusnya kan kita ke rumah Om Herman sekarang.”
Ernes kembali menarik napas dalam berkali-kali. Rasa sakitnya kali ini lebih dahsyat, dia merasa sudah tidak sanggup lagi untuk menahannya. Namun Ernes menguatkan diri untuk melanjutkan kata-katanya kepada Dina.
“Dina, tapi maaf ya, bonekanya udah nggak sebagus tadi. Mas udah minta tolong suster bawain ke sini. Itu dia, jelek ya Din?” kata Ernes menujuk boneka beruang besar di sudut ruangan. Warna bulu-bulunya yang putih sudah berubah menjadi merah. Warna merah yang masih terlihat basah dan begitu pekat karena darah Ernes.
Dina tak kuasa melihatnya, dia membekap mulutnya dengan kedua tangan. Air mata pun mulai jatuh membasahi pipinya.
“Hei Dina, jangan nangis. Happy Birthday, ya.” Ernes mengulurkan tangannya yang masih menyisahkan bercak-bercak darah kepada Dina.
Dina pun menyambutnya penuh dengan perasaan sesal dan haru. Andai saja dia mengetahui rencana Ernes ini, dia pasti tidak akan membentak Ernes seperti tadi. Tak ada lagi kekesalan, yang ada hanyalah rasa bersalah dan pedih yang amat mendalam di dalam hatinya.
Tangan Ernes pun mulai melemah, sampai akhirnya terbujur kaku dengan senyuman hangat di wajahnya. Tak kuat, Dina pun jatuh tersungkur dan melepaskan tangan Ernes. Ingin rasanya dia mengulang hari ini dan tak membiarkan hal itu terjadi pada Ernes. Namun apalah daya, segalanya telah terjadi dan sesal tak ada artinya. Ernes telah pergi meninggalkan Dina, jauh dan selamanya.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments