Pengalaman
beberapa negara berkembang khususnya negara-negara latin yang gandrung memakai
teknologi dalam industri yang ditransfer dari negara-negara maju (core
industry) untuk pembangunan ekonominya seringkali berakibat pada terjadinya
distorsi tujuan. Keadaan ini terjadi karena aspek-aspek dasar dari manfaat
teknologi bukannya dinikmati oleh negara importir, tetapi memakmurkan negara
pengekpor atau pembuat teknologi. Negara pengadopsi hanya menjadi komsumen dan
ladang pembuangan produk teknologi karena tingginya tingkat ketergantungan akan
suplai berbagai jenis produk teknologi dan industri dari negara maju. Alasan
umum yang digunakan oleh negara-negara berkembang dalam mengadopsi teknologi
(iptek) dan industri, searah dengan pemikiran Alfin Toffler maupun John
Naisbitt yang meyebutkan bahwa untuk masuk dalam era globalisasi dalam ekonomi
dan era informasi harus melewati gelombang agraris dan industrialis. Hal ini
didukung oleh itikad pelaku pembangunan di negara-negara untuk beranjak dari
satu tahapan pembangunan ke tahapan pembangunan berikutnya.
Tetapi akibat tindakan penyesuaian yang harus
dipenuhi dalam memenuhi permintaan akan berbagai jenis sumber daya (resources),
agar proses industri dapat menghasilkan berbagai produk yang dibutuhkan oleh
manusia, seringkali harus mengorbankan ekologi dan lingkungan hidup manusia.
Hal ini dapat kita lihat dari pesatnya perkembangan berbagai industri yang
dibangun dalam rangka peningkatan pendapatan (devisa) negara dan pemenuhan
berbagai produk yang dibutuhkan oleh manusia. Disamping itu, IPTEK dikembangkan
dalam bidang antariksa dan militer, menyebabkan terjadinya eksploitasi energi,
sumber daya alam dan lingkungan yang dilakukan untuk memenuhi berbagai produk
yang dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari.
Gejala memanasnya bola bumi akibat efek rumah
kaca (greenhouse effect) akibat menipisnya lapisan ozone, menciutnya luas hutan
tropis, dan meluasnya gurun, serta melumernnya lapisan es di Kutub Utara dan
Selatan Bumi dapat dijadikan sebagai indikasi dari terjadinya pencemaran
lingkungan kerena penggunaan energi dan berbagai bahan kimia secara tidak
seimbang (Toruan, dalam Jakob Oetama, 1990: 16 – 20). Selain itu, terdapat juga
indikasi yang memperlihatkan tidak terkendalinya polusi dan pencemaran lingkungan
akibat banyak zat-zat buangan dan limbah industri dan rumah tangga yang
memperlihatkan ketidak perdulian terhadap lingkungan hidup. Akibat-akibat dari
ketidak perdulian terhadap lingkungan ini tentu saja sangat merugikan manusia,
yang dapat mendatangkan bencana bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu,
masalah pencemaran lingkungan baik oleh karena industri maupun komsumsi
manusia, memerlukan suatu pola sikap yang dapat dijadikan sebagai modal dalam
mengelola dan menyiasati permasalahan lingkungan.
Seringkali ditemukan pernyataan yang
menyamakan istilah ekologi dan lingkungan hidup, karena permasalahannya yang
bersamaan. Inti dari permasalahan lingkungan hidup adalah hubungan mahluk
hidup, khususnya manusia dengan lingkungan hidupnya. IImu tentang hubungan
timbal balik mahluk hidup dengan lingkungan hidupnya di sebut ekologi
(Soemarwoto, 1991: 19). Lingkungan hidup adalah sistem yang merupakan kesatuan
ruang dengan semua benda, daya. keadaan dan mahluk hidup, termasuk di dalamnya
manusia dengan prilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupannya dan
kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya (Soerjani, dalam Sudjana dan
Burhan, 1996: 13).
Dari definisi diatas tersirat bahwa mahluk
hidup khususnya merupakan pihak yang selalu memanfaatkan lingkungan hidupnya,
baik dalam hal respirasi, pemenuhan kebutuhan pangan, papan dan lain-lain.
Manusia berinteraksi dengan lingkungan hidupnya, yang dapat mempengaruhi dan
mempengaruhi oleh lingkungan hidupnya, membentuk dan dibentuk oleh lingkungan
hidupnya. Hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya adalah sirkuler, berarti
jika terjadi perubahan pada lingkungan hidupnya maka manusia akan terpengaruh.
Uraian ini dapat menjelaskan akibat yang
ditimbulkan oleh adanya pencemaran lingkungan, terutama terhadap kesehatan dan
mutu hidup manusia. Misalnya, akibat polusi asap kenderaan atau cerobong
industri, udara yang dipergunakan untuk bernafas oleh manusia yang tinggal di
lingkungan itu akan tercemar oleh gas CO (karbon monoksida). Berkaitan dengan
paparan ini, perlakuan manusia terhadap lingkungan akan mempengaruhi mutu
lingkungan hidupnya.
Masalah pencemaran lingkungan hidup, secara
teknis telah didefinisikan dalam UU No. 4 Tahun 1982, yakni masuknya atau
dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam
lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau
proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat lagi berfungsi sesuai peruntukannya.
Dari definisi yang panjang tersebut, terdapat
tiga dampak IPEK terhadap lingkungan hidup dan sumber daya alam yaitu; dampak
secara kimiawi, fisik dan biologis. Resiko kimiawi akibat IPTEk adalah:
senyawa-senyawa kimia berbahaya yang terdapat di air, tanah, udara dan makanan.
Resiko fisik akibat IPTEk adalah kebakaran, gempa bumi, letusan gunung berapi,
kebisingan, radiasi, sedimentasi. Resiko biologis akibat IPTEk adalah pathogen
(bakteri, virus, parasit), dan bahan kimia yang mengakibatkan kerusakan pada jaringan
tubuh.
Pencemaran terjadi bila dalam lingkungan
terdapat bahan yang menyebabkan timbulnya perubahan yang tidak diharapkan, baik
yang bersifat fisik, kimiawi maupun biologis sehingga mengganggu eksistensi
manusia dan aktivitas manusia serta organisme lainnya. Bahan penyebab
pencemaran tersebut disebut polutan. Polusi disebabkan terjadinya factor-faktor
tertentu yang sangat menentukan ialah:
1.
Jumlah penduduk
2.
Jumlah sumberdaya alam yang digunakan oleh setiap individu
3.
Jumlah Polutan yang dikeluarkan oleh setiap jenis SDA
4.
Teknologi yang digunakan
Penggunaan sumberdaya yang salah menimbulkan
erosi, sedimentasi yang merusak, penggaraman tanah dan air, penggersangan
lahan, banjri dsb. Limbah dan sisa proses menimbulkan contamination dan
pollution atas udara, tanah dan air. Dampak menyebar dan meluas cepat lewat
udara dan air. Penyebaran dan peluasan dampak lewat tanah langsung berjalan
sangat lambat. Akan tetapi tanah dapat bertindak sebagai penyimpan zat atau
bahan pencemar atau pengotor selama waktu lama dan dengan demikian menjadi
sumber dampak yang nantinya akan tersebar lewat udara atau air. Zat pencemar
yang tersimpan dalam tanah juga dapat menyebar lewat serapan tanaman bersama
dengan panenan yang diangkut dan digunakan ditempat-tempat lain. Kalau zat
pencemar diserap tanaman pangan atau pakan, akan dapat mnimbulkan pencemaran
dakhil (internal pollution) atas orang atau ternak dimana-mana tempat
memperjual belikan bahan pangan atau pakan tersebut. Sumber pencemaran dakhil lebih
sulit dilacak daripada sumber pencemaran lewat udara dan air.
Pencemaran dapat datang dari sumber pasti
misalnya dari saluran pembuang limbah pabrik atau datang dari sumber baur,
misalnya dari aliran limpas lahan pertanian, pencemaran sumber pasti secara
nisbi lebih mudah ditangani karena titik pelepasan bahan pencemar jelas dan
susunan bahan pencemar terbatas keanekaannya. Pencemaran sumber baur lebih suli
ditangani kerana titik pelepasannya dan titik asalnya berada di mana-mana dan
susunan bahan pencemarannya sangat beraneka.
Ada dampak yang tinggal di tempat dampak itu
ditimbulkan, misalnya pemampatan tanah oleh alat-alat berat dalam pembukaan
lahan atau penggaraman tanah oleh system irigasi yang dirancang tanpa
memperhitungkan neraca air pada antarmuka atmosfer tanah. Ada dampak yang
diekspor ke tempat lain dari tempat asalnya, misalnya erosi di hulu mengekspor
dampak sedimentasi ke hilir atau asap kendaraan bermotor dari jalur jalan
diekspor ke kawasan pertanian atau pemukiman sepanjang jalan. Kawasan yang
menimpor dampak menghadapi persoalan serupa dengan yang terkena.
Teknologi yang diandalkan sebagai istrumen
utama dalam “revolusi hijau” mampu meningkatkan hasil pertanian, karena adanya
bibit unggul, bermacam jenis pupuk yang bersifat suplemen, pestisida dan
insektisida. Dibalik itu, teknologi yang sama juga menghasilkan berbagai jenis
racun yang berbahaya bagi manusia dan lingkungannya, bahkan akibat rutinnya
digunakan berbagi jenis pestisida ataupun insektisida mampu memperkuat daya
tahan hama tananam misalnya wereng dan kutu loncat.
Berdasarkan hasil studi empiris yang pernah
dilakukan oleh Magrath dan Arens pada tahun 1987 (Prasetiantono, di dalam
Sudjana dan Burhan (ed.), 1996: 95), diperkirakan bahwa akibat erosi tanah yang
terjadi di Jawa nilai kerugian yang ditimbulkannya telah mencapai 0,5 % dari
GDP, dan lebih besar lagi jika diperhitungkan kerusakan lingkungan di
Kalimantan akibat kebakaran hutan, polusi di Jawa, dan terkurasnya kandungan
sumber daya tanah di Jawa.
Terlepas dari berbagai keberhasilan
pembangunan yang disumbangkan oleh teknologi dan sektor indusri di Indonesia,
sesungguhnya telah terjadi kemerosotan sumber daya alam dan peningkatan
pencemaran lingkungan, khususnya pada kota-kota yang sedang berkembang seperti
Gresik, Suarbaya, Jakarta, bandung Lhoksumawe, Medan, dan sebagainya. Bahkan
hampir seluruh daerah di Jawa telah ikut mengalami peningkatan suhu udara,
sehingga banyak penduduk yang merasakan kegerahan walaupun di daerah tersebut
tergolong berhawa sejuk dan tidak pesat industrinya.
Berkaitan dengan pernyataan tersebut, Amsyari
(Sudjana dan Burhan (ed.), 1996:104), mencatat keadaaan lingkungan di beberapa
kota di Indonesia, yaitu: Terjadinya penurunan kualitas air permukaan di
sekitar daerah-daerah industri. Konsentrasi bahan pencemar yang berbahaya bagi
kesehatan penduduk seperti merkuri, kadmium, timah hitam, pestisida, meningkat
tajam dalam kandungan air permukaan dan biota airnya.
Kelangkaan air tawar semakin terasa, khususnya
di musim kemarau, sedangkan di musim penghujan cenderung terjadi banjir yang
melanda banyak daerah yang berakibat merugikan akibat kondisi ekosistemnya yang
telah rusak. Temperatur udara maksimal dan minimal sering berubah-ubah, bahkan
temperatur tertinggi di beberapa kola seperti Jakarta sudah mencapai 37 derajat
celcius. Terjadi peningkatan konsentrasi pencemaran udara seperti CO, NO2r S02,
dan debu. Sumber daya alam yang dimiliki bangsa Indonesia terasa semakin
menipis, seperti minyak bumi dan batubara yang diperkirakan akan habis pada tahun
2020. Luas hutan Indonsia semakin sempit akibat tidak terkendalinya perambahan
yang disengaja atau oleh bencana kebakaran. Kondisi hara tanah semakin tidak
subur, dan lahan pertanian semakin memyempit dan mengalami pencemaran.